Pengertian IPS
Ilmu
Pengetahuan Sosial atau social studies merupakan pengetahuan mengenai
segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat.
di Indonesia pelajaran ilmu pengetauan sosial disesuaikan dengan berbagai
prespektif sosial yang berkembang di masyarakat. Kajian tentang
masyarakat dalam IPS dapat dilakukan dalam lingkungan yang terbatas, yaitu
lingkungan sekitar sekolah atau siswa dan siswi atau dalam lingkungan yang
luas, yaitu lingkungan negara lain, baik yang ada di masa sekarang maupun di
masa lampau. Dengan demikian siswa dan siswi yang mempelajari IPS dapat
menghayati masa sekarang dengan dibekali pengetahuan tentang masa lampau umat
manusia.
Pendidikan
IPS di Indonesia
Menurut Udin S. Winataputra (2009: 1.39), perkembangan social
studies melukiskan bagaimana pada dunia persekolahan telah menjadi dasar
ontologi dari suatu sistem pengetahuan terpadu, yang secara etistimologis telah
mengarungi suatu perjalanan pemikiran dalam kurun waktu 60 tahun lebih yang
dimotori dan diwadahi oleh NCSS (National Council for the Social Studies)
sejak tahun 1935. Pemikiran tersebut secara tersurat dan tersirat merentang
dalan suatu kontinum gagasan “social studies” Edgar Bruce Wesley (1935)
sampai kegagasan “social studies” terbaru dari NCSS tahun 1994.
Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh pemikiran social studies di Amerika Serikat yang kita
anggap sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi
akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam
perkembangan pemikiran mengenai bidag itu seperti dapat disimak dari berbagai
karya akademis antara lain diplubikasikan oleh NCSS sejak pertemuan organisasi
tersebut untuk pertama kalinya tanggal 28-30 November 1935 sampai sekarang.
Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia
secara historis epistemologis terasa sangat sukar karena dua alasan. Pertama,
di Indonesia belum ada lembaga profesional bidang pendidikan IPS setua dan
sekuat pengaruh NCSS. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI
(Himpunan Sarjana Pendidiksn IPS Indonesia) usianya masih sangat muda dan
poduktifitas akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada
pertemuan tahunan dan konumikasi antar anggota secara insidental. Kedua,
perkembangan kurikulum dam pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan
(disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran individual dan
atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan
perangkat kurikulum IPS melalui Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana
Pendidikan Balitbang Dikbud (PUSKUR). Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah
bidang ini terhadap pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang
tersalur melalui anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan
tersebut. Jadi sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies
Curriculum Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amreika.
Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan
IPS di Indonesia akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS dalam dunia
persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan penelitian
yang relevan di bidang itu.
Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat
ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic
Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut Laporan Seminar
tersebut ada tiga istilah yang muncul dan digunakan secara bertukar pakai yakni
“pengetahuan social, studi social, dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan
sebagai suatu studi masalah-masalah social yang dipilih dan dikembangkan dengan
menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah
social itu dapat dipahami siswa. Dengan demikian, para siswa akan dapat
menghadapi dan memecahkan masalah sosila sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS
tersebut belum masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis
yang muncul dalam seminar tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan
dengan munculnya istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis
pendidikan Sains. Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut
dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang
pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar
Bruce Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan
kontroversi akademik, pemunsulan pengertian IPS dengan mudah dapat diterima
dengan sedikit komentar.
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia
persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis
Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali
kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar Civic Education di
Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad Kosasih
Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan
Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim pemnegmbang kurikulum
tersebut. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan
Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran social terpadu.
Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep
pengajaran social yang awalaupun tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam
Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan
Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, Ilmu Bumi
Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara. Oleh
karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS diartikan sama dengan
Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya
dipengaruhi oelh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang pada tahun 1972
menerbitkan sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial: Pengantar Menuju Sekolah
Komprehensif”.
Sedangakan dalam Kurikulum Sekolah Menengah 4 tahun,
dugunakan tiga istilah yakni (1) Studi Sosial sebagai mata pelajaran inti untuk
semua siswa dan sebagai bendera untuk kelompok mata pelajaran social yang
terdiri atas geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai amat pelajaran major pada
jurusan IPS; (2) Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti bagi
semua jurusan; dan (3) Civics dan Hukum sebagai mata pelajaran major pada
jurusan IPS.
Kurikulum PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua
dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan
akademis tentang IPS ke dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini, konsep
pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga bentuk yakni, (1) pendidikan IPS
terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial; (2)
pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya digunakan sebagai patung
untuk mata pelajaran geografi, sejarah dan ekonomi; dan (3) pendidikan
kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus.
Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi
terhadap Kurikulum 1975, yang emang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang
dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS
menampilkan empat profil, yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan
Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang
mewadai tradisi citizenship traansmission; (2) Pendidikan IPS terpadu untuk
Sekolah Dasar; (3) Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS
sebagai konsep payung yang menaungimata pelajaran Geografi, sejarah, dan
ekonomi koperasi; dan (4) Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran
sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG
(Dep. P dan K,1975a; 1975b, 1975c; dan 1976). Konsep pendidikan IPS seperti itu
tetap dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual
merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Penyempurnaan yang dilakukan
khususnya dalam aktualisasi materi yang disesuaikan dengan perkembangan baru
dalam masing-masing disiplin, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan
Pengalaman Pancasila (P4) sebagai materi pokok Pendidikan Moral Pancasila.
Sedang konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahan yng
mendasar.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dalam wacana pendidikan IPS muncul dua bahan kajian
kurikuler pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian ketika
ditetapkannya Kurikulum 1994 mnggantikan kurikulum 1984, kedua bahan tersebut
dilembagakan menjadi satu pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn). Secara konseptual mata pelajaran ini masih tetap merupakan bidang
pendidikan IPS yang khusus mewadai tradisi citizenship transmission dengan
muatan utama butir-butir nilai Pancasila yang diorganisasikan dengan
menggunakan pendekatan spiral of concept development ala Taba
(Taba:1967) dan expanding environment approach” ala Hanna (Dufty; 1970)
dengan bertitik tolak dari masing-masing sila Pancasila.
Di dalam Kuikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan
pelajaran social khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang
pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam:
pertama, pendidikan IPS terpadu di SD kelas III s/d kelas VI; kedua,
pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah,
dan ekonomi koperasi dan ketiga, pendidikan IPS terpisah-pisah yang mirip
dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr dan
kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri
atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi
dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II; Sejarah Budaya di kelas
III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Dan Antropologi di kelas
III Program IPS.
Dilihat dari tujuannya, setiap mata pelajaran social
memiliki tujuan yang bervariasi. Mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah
Umum bertujuan untuk”….menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat
masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air
serta rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan
hubungan masyarakat antar bangsa di dunia” (Depdikbud, 1993: 23-24).
Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya mengandung esensi pendidikan
kewarganegaraan atau tradisi “citizenship transmission” (Barr, dan
kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk memberikan
pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan menerapkannya dalam pemecahan
masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya secara kritis dan objektif (Depdikbud,
1993:29). Sedang untuk program IPS mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk
“….memberikan bekal kepada siswa mengenal beberapa konsep dan teori ekonomi
sederhana untuk menjelaskan fakta, peristiwa, dan masalah ekonomi yang
dihadapi” (Depdikbud, 1993: 29). Dari rumusan tujuan tersebut dapat
ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan Ekonomi di SMU baik untuk program umum
maupun untuk program IPS mengisyaratkan diterapkannya tradisi social studies
taught as social science ( Barr, dan kawan-kawan: 1978).
Tradisi ini tampaknya diterapkan juga dalam mata
pelajaran Sosiologi, Geografi, Tata Negara, Sejarah budaya dan Antropologi
sebagai mana dapat dikaji dari masing-masing tujuannya. Mata palajaran
Soaiologi memiliki tujuan “…untuk memberikan kemampuan memahami secara kritis
berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang muncul seiring dengan
perubahan masyarakat dan budaya, menanamkan kesadaran perlunya sosial budaya
sesuai dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai sosial yang berlaku di
masyarakat” (Depdikbud, 1993: 30). Sementara itu mata pelajaran kemampuan dan
sikap rasional yang bertanggung jawab dalam menghadapi gejala alam dan
kehidupan di muka bumi serta permasalahannya yang timbul akibat interaksi
antara manusia dengan lingkungannya” (Depdikbud, 1993: 30). Sedangkan mata
pelajaran Tata negara menggariskan tujuan”…untuk meningkatkan kemampuan agar
siswa memahami penyelenggaraan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara,
tata peradilan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan,
sistem pemerintahan Negara RI maupun negara lain” (Depdikbud, 1993: 31).
Hal yang juga tampak sejalan terdapat dalam rumusan tujuan
mata pelajaran Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya untuk menanamkan
pengertian adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau,
masa kini dan masa mendatang sehingga siswa menyadari dan menghargai hasil dan
nilai budaya pada masa lampau dan masa kini (Depdikbud, 1993: 31). Demikian
juga dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan tegas diorentasikan
pada upaya untuk memberikan pengetahuan mengenai proses terjadinya kebudayaan,
pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari; menanamkan kesadaran
perlunya menghargai nilai-nilai budaya suatu bangsa, terutama bangsa sendiri,
dan pada akhirnya dimaksudkan juga untuk menanamkan kesadaran tentang peranan
kebudayaan dalam perkembangan dan pembangunan masyarakat serta dampak perubahan
kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat (Depdikbud, 1993: 33).
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang
terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS
di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan
IPS di Indonesia yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmission”
dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah
Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science
dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan
yang terintegrasi di SD.
Dalam pembahasannya tentang “Perspektif Pendidikan Ilmu
(Pengetahuan) Sosial”, Achmad Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang
sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP, menyinggung sekidit tentang
pengajaran IPS di sekolah. Sanusi (1998: 222-227) melihat pengajaran IPS di
sekolah cenderung menitikberatkan pada penguasaan hafalan; proses pembelajaran
yang terpusat pada guru; terjadinya banyak miskonsepsi; situasi kesal yang
membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru dari sumber lain; ketidakmutahiran
sumber belajar yang ada; sistem ujian yang sentralistik; pencapaian tujuan
kognitif yang “mengelit-bawang”; rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai
akibat dari amat lunaknya isi pelajaran, kontradiksi materi dengan
kenyataan,dominannya latihan berfikir taraf rendah, guru yang tidak tangguh,
persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan dan
peran ilmu sosial dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, Sanusi (1998)
merekomendasikan perlunya reorientasi pengembangan yang mencakup peningkatan
mutu SDM dalam hal ini guru agar lebih mampu mengembangkan kecerdasan siswa
lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media dan sumber
belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu perlu diperlukan upaya peningkatan
dukungan sarana dan prasarana serta insentif yang fair. Dalam dimensi konseptual,
Sanusi (1998: 242-247) menyarankan perlunya batasab yang jelas mengenai tujuan
dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang pendidikan, termasuk
di dalamnya pola pemilihan dan pengoranisasian tema-tema pembelajaran yang
dinilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan dalam
masyarakat.
Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS tampaknya telah
berulang kali dibahas dalam rangkaian pertemuan ilmiah yakni Pertemuan HISPIPSI
pertama tahun 1989 di Bandung, Forum Komunikasi Pimpinan FPIPS di Yogyakarta
tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang tahun 1993, Konvensi
Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu marei yang selalu menjadi
agenda pembahasan adalah mengenai konsep PIPS. Dalam pertemuan Ujung Pandang tahun
1993, M. Numan Somantri selaku pakar dan Ketua HISPIPSI (Somantri: 1993) kembah
menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam Pertemuan
Yogyakarta tahun 1991, sebagai berikut:
“Versi PIPS Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah: PIPS adalah
penyederhanaan, adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta
kegiatan dasar manusia, yang diorganisasi dan disajikan secara ilmiah dan
pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan”.
“Versi PIPS Untuk HIPS dan Jurusan Pendidikan IPS-IKIP: PIPS
adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan
dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologi untuk
tujuan pendidikan”.
Kelihatannya HISPIPSI ingin mencoba menjernihkan pengertian
PIPS dengan cara menggunakan label yang sama, yakni PIPS tetapi dengan dua
versi pengertian, yakni pengertian PIPS untuk pendidikan persekolahan dan untuk
pendidikan tinggi untuk guru IPS di IKIP/STKIP/FKIP. Dari dua versi pengertian
itu, yang membedakan adalah dalam format sistem pengetahuannya. Untuk dunia
persekolahan merupakan penyederhanaan, atau sama dengan gagasan Wesley (1937)
dengan konsep “social sciences simplifield …”, sedang untuk pendidikan guru IPS
berupa seleksi. Namun, rasanya perbedaannya tidak begitu jelas, kecuali seperti
dikatakan oleh Somantri (1993: 8) dalam tingkat kesukarannya sesuai dengan
jenjang pendidikan itu, yakni di dunia persekolahan disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak, sedang di perguruan tinggi disesuaikan dengan taraf
pendidikan tinggi. Penjelasan ini menurut penulis terkesan bersifat tautologis.
Kedua versi pengertian PIPS tersebut masih dipertahankan sampai dalam Petermuan
Terbatas HISPISI di Universitas Terbuka Jakarta tahun 1998 (Somantri, 1998 : 5-
6), dan disepakati akan menjadi salah satu esensi dari “position paper”
HISPIPSI tentang Disiplin PIPS yang akan diajukan kepada LIPI.
Jika dilihat dari pokok- pokok pikiran yang diajukan oleh
Numan Soemantri selaku ketua HISPIPSI ( Somantri: 1998) Position Paper itu akan
menyajikan penegasan mengenai kedudukan PIPS sebagai synthetic discipline atau
menurut Hartonian (1992) sebagai integrated system of knowledge. Oleh karena
itu, PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan guru IPS,
direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disipln ilmu sehingga menjadi
pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial disingkat menjadi PDIPS. Dengan
demikian kelihatannya HISPIPSI akan memegang dua konsep, yakni konsep PIPS
untuk dunia persekolahan, dan konsep PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan
guru IPS. Yang masih perlu dikembangakan adalah logika internal atau struktur
dari kedua sistem pengetahuan tersebut. Dengan demikian masing-masing memiliki
jati diri konseptual yang unik dann dapat dipahami lebih jernih.
Tentang kedudukan PIPS/PDIPS dalam konteks yang lebih luas
tampaknya cukup prospektif Misalnya, Dalam (1997) melihat PIPS sebagai upaya
strategis pembangunan manusia seutuhnya untuk menghadapi era globalisasi.
Sementara itu Tsauri (1997:1) yang mengutip pemikiran Affian ketika mengenang
tokoh LIPI Profesor Darwono Prawirohardjo, melihat peranan PIPS dalam
perspektif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, yang
seyogyanya memusatkan perhatian pada upaya pengembangan disiplin yang kuat,
ketekunan yang luar biasa, integritas diri yang kukuh, wibawa yang mantap, rasa
tanggung jawab yang tinggi, dan pengabdian yang dalam.
Dilihat dari perkembangan permikiran yang berkembang di
Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni :
Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan
penyederhaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara
psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan pesekolahan; dan kedua, PDIPS untuk
perguruan tinggi pendidikan guru IPS yag pada daarnya merupakan penyeleksian
dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari limu-ilmu
sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan
profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.
PIPS untuk dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi
atau tradisi akademik pedagogis yakni : pertama, PIPS dalam tradisi
“citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajran pendidikan
Pancasiala dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia; dan kedua PIPS dalam
tradisi “social science” dalam bentuk mata pelajaran IPS Terpadu untuk
SD, dan mata pelajaran IPS Terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS terpisah-pisah
untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi pengembangan
manusia indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN dan UU No. 2/1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Perkembangan pemikiran mengenai PIPS ini amat berpengaruh
pada pemikiran PDIPS di IKIP/FKIP/STKIP.
Dalam konteks perkembangan pendidikan “social
studies” di Amerika atau “Pendidikan IPS” di Indonesia konsep dan
praksis pendidikan demokrasi yang dikemas sebagai “citizenship
education” atau “Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai
salah satu dimensi dari tujuan, konten dan proses social studies atau
“pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan bahwa pendidikan demokrasi
merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “social studies”
atau “Pendidikan IPS”. Walaupun demikian, subsistem pendidikan demokrasi ini
sejak awal perkembangannya, seperti di Amerika sudah menunjukkan keunikan dan
kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan
warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini, sejalan dengan perkembangan
konsep dan praksisi demokrasi, terus berkembang sebagai suatu bidang
kajian dan program pendidikan yang dikenal dengan citizenship education atau
civic education, atau unuk Indonesia dikenal dalam label yang berubah
– ubah mulai dari Civics, Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara,
Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewargenagaraan, dan
Pendidikan Kewarganegaraan.
Jika dikaji dengan cermat dalam konteks perkembangan social
studies ternyata citizenship education yang pada dasarnya berintikan
pengembangan warga negara agar mampu hidup secara demokratis merupakan bagian
yang sangat penting dalam social studies. Hal itu dapat disimak sejak social
studies mulai diwacanakan tahun 1937 oleh Edgar Bruce Wesley, yang definisinya
tentang social studies dianggap sebagai pilar epistemologis pertama, sampai
dengan munculnya paradigma social studies dari NCSS tahun 1994. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa esensi pendidikan demokrasi sesungguhnya merupakan
bagian integral dari “social studies”.
Bidang kajian dan program pendidikan demokrasi dalam bentuk
kemasan “Citizenship education” maupun “Civic Education” atau
pendidikan kewarganeraan ini, kini kelihatan semakin banyak dikembangkan baik
di negara demokrasi yang sudah maju muupun negara yang sedang merintis atau
meningkatkan diri kearah itu. Hal itu sejalan dengan berkembangnya proses
demokratisasi yang kini telah menjadi gerakan sosial-politik dan sosial-budaya
yang mendunia.
Menyimak perkembangan “social studies” secara umum dan
Pendidikan IPS di Indonesia sampai saaat ini maka perlu adaya reorientasi
pendidikan IPS sebagai berikut:
1.
Menegaskan
kembali visi pendidikan IPS sebagai program pendidikan yang menitikberatkan
pada pengembangan individu siswa sebagai “aktor sosial” yang mampu mengambil
keputusan yang bernalar dan sebagai “warga negara yang cerdas, memiliki
komitmen, bertanggung jawab, dan partisipatif”.
2.
Menegaskan
kembali misi pendidikan IPS untuk memanfaatkan konsep, prinsip dan metode
ilmu-ilmu sosial dan bidang keilmuan lain untuk mengembangkan karakter aktor
sosial dan warga negara Indonesia yang cerdas dan baik.
3.
Memantapkan
kembali tradisi pendidikan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan yang diwadahi
oleh mata Pelajaran Kewarganegaraan dan sebagai Pendidikan sosial yang diwadahi
oleh mata pelajaran IIPS terpadu dan mata pelajaran ILPS Terpisah.
4.
Menata
kembali sarana programatik pendidikan IPS untuk berbagai jenjang pendidikan
(Kurikulum, Satuan Pelajaran, dan Buku Teks) sehingga memungkinkan tercapainya
tujuan pendidikan IPS.
5.
Menata
kembali sistem pengadaan dan penyegaran guru pendidikan IPS sehingga dapat
dihasilkan calon guru pendidikan IPS yang profesional.
Daftar
Pusaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar